Rss Feed
Tweeter button
Facebook button
Digg button

di ujung musim semi

sore itu cukup dingin dan lengas, sepertinya nanti malam hujan akan turun. aku sedang mengunyah roti keju, sisa makan siangku. duduk sendirian di dalam ruangan kantor yang dingin, aku mengambil ponsel yang kuletakkan di atas meja. kupandangi layar untuk beberapa saat, lalu perlahan aku tekan sebelas digit nomor yang sudah aku hafal di luar kepala, meski tak tersimpan (lagi) dalam daftar kontak ponselku. diangkatnya setelah terdengar nada sambung sekitar tiga detik lamanya.

“halo”, sapanya. suaranya masih hangat, sama seperti ketika aku mengenalnya lima tahun lalu.

“hai. apa kabar? aku dengar katanya kamu pulang”, kataku setengah ragu.

“mmm… iya, liburan singkat. kabarku baik. kamu gimana?”

aku bilang aku sedang di kantor, jam istirahat. kemudian aku mengajaknya bertemu nanti malam. aku tahu tak banyak kemungkinan bahwa ajakanku akan diterima. tapi ya, tak ada salahnya mencoba, kan. sejenak suaranya terdengar bimbang. seperti sedang menyusun alasan – ah aku mulai berpikiran buruk.

“boleh. kita ketemu langsung ya, maaf aku gak bisa jemput kamu.”

“never mind. hey, thanks.”

telepon kututup tanpa menunggu balasannya.

.

sore itu aku berdandan lebih rapi dari biasanya. kaos kuganti mini dress, dan celana jeans kuganti legging. beserta kalung cantik, ikat pinggang lebar dan sandal wedges. aku menjepit rambutku ke samping, memakai lipgloss sheer pink, dan parfum oceanus dari the body shop. wewangian yang – katanya – mengingatkannya pada lembabnya udara pantai dan suara ombak.

aku tidak naik motor seperti biasanya aku pergi kemana-mana. alih-alih, aku menelepon taksi, dan meminta pak sopir untuk mengantarkanku ke kafe tempat kami akan bertemu. lima belas menit kemudian, aku sudah tiba di kafe itu.

dia belum datang, namun aku tak lagi menunggu dengan sebal. aku hanya tersenyum kecil saat mengingat perasaan itu… perasaan sebal ketika dulu dia sering sms membatalkan janji atau mengulur waktu. aku selalu menganggap dia tidak bisa memegang janji, sedangkan dia selalu mengelak kalau dikatakan demikian. katanya dia bukan orang yang tidak bisa memegang janji, karena dia tidak suka berjanji. dia takut tidak bisa memenuhi janjinya.

“mas, white chocolate satu ya. hot”, pesanku pada pelayan kafe.

minuman kesukaanku di kafe ini. memang enak. aku menikmati lagu yang sedang diputar di kafe,  if tomorrow never comes versi ronan keating. setelah lagu berakhir datanglah pesananku. segelas cokelat putih dengan sendok yang dibuat dengan cokelat berwarna coklat. cokelat? putih? aku tidak habis pikir kenapa ada cokelat yang berwarna putih tapi sudahlah tidak usah dipikirkan. toh dalam bahasa inggris mereka dibedakan menjadi chocolate dan brown. ah sudahlah, kenapa kita membahasnya lagi?

“maaf, aku terlambat”, dia menarik kursi di depanku kemudian duduk.

dia memesan sepiring kentang goreng dan lemon tea hangat, lalu menatapku tajam. tanpa kata.

“makasih ya, menyempatkan diri menemuiku malam ini”, ucapku memecahkan keheningan.

dia tersenyum, lalu kami mulai bicara. tentang satu hal, lalu tentang hal-hal yang lain. tentang hal yang ingin dibicarakan sedari awalnya, juga tentang hal yang tak terduga. pembicaraan mengalir cukup lancar, meski kadang terhenti oleh kata yang tercekat di tenggorokan. juga oleh isak tangisku perlahan, yang kuredam dengan adukan sendok di dalam gelas cokelat hangatku.

dua lembar tisu diulurkannya padaku.

“maaf. sekali lagi aku minta maaf. aku tidak bisa mencegahmu menangis kali ini, seperti yang biasa aku lakukan”, katanya pelan. ekor matanya melirik kanan-kiri seolah menerka apa isi kepala pengunjung yang melihatku menangis.

aku menyusut air mata dengan tisu yang disodorkannya padaku. setiap tetesnya membawaku pada suatu masa, suatu musim. pada negeri bermusim empat, pada negeri bermandi sinar matahari. aku paham seperti apa rasa dari setiap masa. namun aku sedang tak ingin mengingatnya. tak ingin mengenang apapun tentangnya.

“waktu berlalu, satu hal dan hal lain berubah. kadang perubahan itu begitu lembut, kadang juga menghentak. hanya kita yang tahu, sekuat apa kita bisa menghadapi perubahan itu.”

kalimat demi kalimat diucapkannya lirih, dan sekilas kulihat ada kilat air mata di sudut matanya.

“aku harus pergi sekarang. aku sudah ada janji mengantar kakakku ke bandara.”

aku mendongak, menatapnya yang sedang berkemas dan membayar pesanan kami. senyumnya, senyum itu…

“sampaikan salam buat kakakmu”, kataku sambil mencoba tersenyum.

“iya. kamu jaga diri baik-baik, ya.”

aku menatap punggungnya berlalu dari kafe. sejenak aku termenung sendiri mencoba mencerna setiap kata, setiap rasa. menikmati setiap degup jantung, dan sesak hati menahan air mata yang sebentar akan tertumpah lagi. kusambar jaket yang kusandarkan di punggung kursi, lalu kulangkahkan kakiku ke luar.

tepat seperti dugaanku, hujan turun… bersamaan dengan air mataku. just in time. aku berhentikan taksi yang lewat di depan kafe.

kemudian sayup kudengar lagu dari radio yang diputar di taksi…

What am I supposed to do when the best part of me was always you,
And what am I supposed to say when I’m all choked up and you’re ok
I’m falling to pieces, yeah…
I’m falling to pieces…

Tagged ,

6 thoughts on “di ujung musim semi

  1. jensen99 says:

    Kapan ya terakhir kali ada cewek nangis gara2 saya…? ❓

  2. Kimi says:

    Aku gak bisa donlod lagu ini di 4shared. :((

  3. fajarmcxoem says:

    di ujung musim semi, tanpa kapital

  4. yud1 says:

    @dnial: entah kenapa saya kok juga berpikir begitu…

    :-

  5. dnial says:

    Tiba2 teringat gaya penulisan seseorang….

  6. ntie says:

    lagu lagunyaa bisa pas gitu yaa. bikin makin mewekk

Leave a Reply to dnial Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.